Subscribe

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Saturday, September 5, 2009

KiaiKanjeng Terus Berjalan

KiaiKanjeng mensyukuri lahirnya album Terus Berjalan sebagaimana KiaiKanjeng mensyukuri segala sesuatu yang dialami dan dijalaninya dalam kehidupan sehari-hari termasuk seperti saat ini ketika misalnya KiaiKanjeng sedang berada di Abu Dhabi untuk acara Indonesian Cultural Night 2008 20-25 November 2008 di Gedung Cultural Foundation Abu Dhabi. Sebelumnya di negeri Kincir Angin Belanda selama kurang lebih 2 minggu (6-20 Oktober 2008).

Di negeri Belanda itu, KiaiKanjeng datang tidak terutama untuk berkesenian, melainkan datang membawa hatinya untuk menyapa masyarakat di sana, membawakan lagu-lagu untuk mempererat persaudaraan di antara orang yang berbeda latar belakangnya, terutama latar belakang agama dan budayanya, terlebih lagi tatkala ketegangan antar manusia kerap mengemuka.

Kemana-mana yang dibawa KiaiKanjeng adalah “manusia”-nya. Bertemu orang, dari pelosok desa hingga kota-kota di mancanegara, KiaiKanjeng lebih dulu menyodorkan sisi manusia dirinya. Manusia dimanusiakan lebih dulu oleh KiaiKanjeng. Agaknya itu dilakukan karena hidup di zaman modern ini telah membuat manusia tercabik-cabik ke dalam kotak-kotak sempit politik, ekonomi, golongan, ideologi, dan berbagai kotak lainnya. Musik dan kesenian, lirik dan lagu, nada dan irama yang dihasilkan KiaiKanjeng lebih banyak “mengabdi” untuk usaha memanusiakan kembali manusia.

Itu tidak berarti bahwa sisi-sisi kualitiatif musikalitas menjadi dinomorduakan. Sama sekali bukan. Bahkan sebaliknya, justru dalam rangka menjalankan proses “nonkesenian” yang disebut memanusiakan itu tadi, KiaiKanjeng makin terlecut untuk lebih kreatif dan berprestasi, kendatipun itu bukan orientasi pertama dan utama. Semoga bukan suatu kesombongan: tahun 2005 KiaiKanjeng mendapat kesempatan pentas di Italia, dan mendapat kehormatan untuk tampil di museum musik klasik dunia di Napoli tempat musisi kelas dunia pernah menggelar konser mereka seperti Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini, dan Antonio Vivaldi. Di situ, KiaiKanjeng meninggalkan cinderamata berupa naskah notasi karya mereka, Pambuko I, Pambuko II dan demung.

Di London Inggris, pada tahun 2005, KiaiKanjeng juga mendapatkan kehormatan untuk tampil dalam acara Islamic Award for Muslim Excellence yang dihadiri para pemuka Muslim di Eropa. Di Mesir, tahun 2003, KiaiKanjeng tampil dan mendapatkan sambutan hangat dari publik Mesir dan membuat mata mereka sedikit terbuka tentang Indonesia. Beberapa hari lagi, 21 Oktober 2008, setibanya dari Belanda, KiaiKanjeng telah genap mengunjungi 29 kota di luar negeri.

Tetapi yang lebih melegakan adalah ketika KiaiKanjeng mendengar kesaksian murni dari audiens tentang penampilan mereka. Sebut misalnya Egbert Van Velahuizen tokoh agama Kristen Windesheim yang mendengarkan musik-musik KiaiKanjeng saat mereka tampil di Universitas Windesheim Belanda beberapa hari lalu. Ia mengatakan,”Lagu yang kalian mainkan telah menyentuh hati saya. Kalian telah mengajak manusia untuk hidup bersama secara damai. Kalian membawa kami untuk membuka sebuah lembaran baru, sebuah dunia yang lebih baik.”

Atau mungkin boleh juga menyimak pernyataan Tom America, seorang komponis terkenal Belanda yang tinggal di Amsterdam. Ia adalah salah seorang yang sangat antusias mengikuti pertunjukan dari awal hingga akhir saat KiaiKanjeng tampil di Gedung teater De Nobelaer Anna van Berchemlaan 2, 4872 XE Etten-Leur Netherlands dalam rangkaian tur Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng ke Belanda 6-20 Oktober ini. Ia menyatakan bahwa dia merasa mendapat pelajaran berharga dari penampilan KiaiKanjeng. Belum pernah ia menyaksikan pertunjukan seperti yang KiaiKanjeng pertontonkan; sebuah instrumen musik tradisional –dengan segala keterbatasannya, mampu meramu dan menampung lagu dan jenis musik dari seluruh benua. Itu menjadi luar biasa, karena bisa menjadi simbol bahwa perbedaan budaya, agama, ras, bangsa dan sebagainya bisa di”satukan” lewat musik.

Egbert Van Velahuizen dan Tom America masih punya teman, tetapi semua kesaksian itu tidak membuat KiaiKanjeng GR. Sebaliknya itu semua memacu mereka untuk Terus Berjalan. Lebih-lebih budayawan Emha Ainun Nadjib sebagai bagian tak terpisah dari proses kehidupan KiaiKanjeng (mulai soal kreativitas, pandangan hidup, hingga soal-soal daily life) terus membesut mereka untuk tak jemu-jemu menjadi manusia yang sebisa mungkin murni sebagai manusia, di manapun mereka hadir, di manapun mereka bertemu beragam masyarakat.

Itu sebabnya, di tanah air misalnya, kerap kali kehadiran KiaiKanjeng dan tentunya Emha Ainun Nadjib itu diam-diam atau tidak diam-diam membawa suatu “tugas” khusus umpamanya untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersitegang, menghibur mereka yang kesepian, atau membantu mencari ilmu bagi mereka yang bingung atau terbingungkan, dengan pertama-tama meletakkan manusia sebagai subjek utama–tentu disertai upaya menegakkan objektivitas–dalam menganalisis suatu masalah. Jadilah musik KiaiKanjeng diaransemen untuk mempermudah proses komunikasi sosial, dan ini adalah sesuatu yang unik.

Barangkali karena itulah posisi KiaiKanjeng dalam dunia musik agak tidak berada dalam peta mainstream, walaupun KiaiKanjeng yang wajah orang-orangnya menyiratkan bahwa mereka adalah orang biasa, sederhana, mungkin juga ndeso, tetapi toh mereka tidak canggung jika harus berkolaborasi dengan para pemusik “resmi” seperti Cat Steven, atau kelompok penerusnya Ummi Kultsum di Mesir.

Album Terus Berjalan ini memang bisa berarti secara harfiah bahwa personel-personel KiaiKanjeng terus berjalan dengan menggotong sendiri seabrek alat musik, saron, demung, keyboard, terbang, dan lain-lain ke berbagai tempat di muka bumi ini, seperti ketika mereka beracara di Finlandia 2006, namun di balik perjalanan mereka, tatapan mata mereka tetaplah ke depan. KiaiKanjeng terus berjalan, sebagaimana Anda dan kita semua juga harus terus berjalan.

Album Terus Berjalan ini berisi 8 lagu. Diproduksi oleh Progress Yogyakarta dan distribusinya ReMZ Music Jakarta. Resminya Album sudah beredar pertengahan Nopember lalu.[]
Read More..

In Memoriam Rendra: Tanahku, Hutanku, Kuburanku

RENCANANYA, sesudah diskusi ulang tahun ke-52 Lembaga Administrasi Nasional, 4 Agustus pagi itu, saya janji langsung ke Rumah Sakit Mitra Keluarga untuk turut mengantarkan Rendra pulang ke rumah Clara Shinta, putrinya, di Pesona Khayangan, Depok. Namun, tiba-tiba Mbah Surip dipanggil Tuhan sehingga seusai diskusi, saya dengan beberapa teman Kenduri Cinta langsung menuju rumah Mamiek Slamet [Prakoso] di Kampung Makassar, tempat pertama jenazah beliau disemayamkan.

Memasuki kampung padat gang sempit penuh orang dan wartawan, tiba juga kami di depan rumah Mamiek. Pintu ditutup rapat. Manohara barusan masuk. Kami tidak punya “kompetensi” untuk berjuang agar bisa dibukakan pintu sebab kami tidak tahu posisi kami dalam dunia Mbah Surip: apakah kami termasuk di lingkaran primer sahabatnya, atau lingkungan sekunder, ataukah fans belaka sebagai ratusan khalayak yang memadati tempat itu.

Bersama Dr Nursamad Kamba, aktivis Thariqat Naqshabandy Mesir, kami mengaji dan berdoa di sebuah pojok, kemudian berniat langsung saja ke Cipayung, tempat Mbah Surip akan disemayamkan. Jalan kami terdesak-desak oleh arus massa yang berlomba mengerumuni dan menciumi tangan Manohara, tetapi syukur bisa lolos juga dan langsung menuju kompleks Bengkel Teater Rendra di Cipayung.

Sesampai di sana kami terbentur problem “kompetensi etis” lagi sehingga hanya berkumpul di sebuah rumah tetangga Rendra untuk berdoa dan shalat gaib bersama. Kami menyepakati agar Noe “Letto” dan satu dua teman yang masuk ke tempat jenazah Mbah Surip disemayamkan.

Pukul 20.00, kami cabut menuju Pesona Khayangan AV-5 untuk menemani Rendra yang terbaring sakit. Problem jantung dan ginjal beliau semakin mereda sesudah berpindah tiga rumah sakit, tetapi lalu tiba-tiba terserang demam berdarah sehingga rencana untuk keluar dari RS Mitra tertunda menunggu trombositnya naik. Syukur beliau akhirnya diizinkan pulang dan mulai ditangani oleh sebuah klinik herbal di Jakarta Barat.

“Menonton” Mbah Surip

Rendra telentang, rambutnya dipotong pendek sejak seminggu sebelumnya, tubuhnya masih kuyu, tetapi wajahnya mulai bersinar.

“Hatinya lebih tenteram di sini, Mas?” saya menyapa sambil memegangi tangannya. Rendra tersenyum, menganggukkan kepala, dan memancarkan sorot mata optimisme. Rendra bukan orang yang pernah suka menyembunyikan isi hatinya sehingga kalau hatinya tidak benar-benar lebih tenteram, ia pasti menjawab dengan keras dan tegas, “Ora!”

Kami berbisik-bisik mengobrol pendek-pendek, tentang kelegaannya ditangani dengan metode yang lebih natural, tetapi menyepakati kesiapan seluruh segi untuk sewaktu-waktu berpindah ke rumah sakit di Singapura, yang memang sudah kami runding sejak dua minggu sebelumnya.

Ken Zuraida, istri beliau, dan Meme, putri mereka, lalu lalang menyiapkan ini itu yang diperlukan. Auk alias Clara Sinta, putri Rendra dari istri pertamanya, Sunarti, tak pernah diperbolehkan papanya lepas beberapa meter saja pun darinya, siang dan malam. Juga Arifin, semacam asisten pribadi Rendra yang senantiasa siap ceplas-ceplos bergurau menyegarkan jiwa Rendra, tidak pernah bisa beranjak dari seputar Rendra. Jika beranjak akan terdengar suara berat memanggil-manggilnya, “Fiiin! Fiiin!”

Namun, malam itu Rachell, putri Rendra dari Sitoresmi, sedang pamit ke Yogyakarta sehingga tak terdengar gurauan liberal yang segar antara bapak dan putrinya.

Suasana di pembaringan Rendra kemudian bahkan agak berubah sendu. Di seberang pandang Rendra, televisi sedang menayangkan siaran langsung prosesi pemakaman Mbah Surip.

Ribuan orang dan ratusan wartawan memenuhi “rumah Rendra”. Rendra menatap televisi dengan ekspresi wajah yang tidak segera bisa saya raba. Apakah mereka tahu di mana gerangan tuan rumahnya Mbah Surip berada? Kenapa Rendra tak tampak turut takziah kepada tamunya? Apakah ada yang tahu bahwa si tuan rumah sedang terbaring sakit sejak dua bulan sebelum Mbah Surip meninggalkannya?
Anatomi Nilai

Tatkala terbaring di rumah sakit, Rendra pernah berbisik, “Kapan saya pulang, Nun?” Saya agak mengelak, “Kalau pulang, ke mana, Mas?” Ia menjawab, “Ke Cipayung. Itu tanahku, itu hutanku, itu kuburanku….”

Lalu, tatkala diperkenankan pulang, ia mengambil keputusan, akan pulang ke rumah putrinya, A’u. Saya memahaminya sebagai ungkapan kearifan dan kemuliaan hatinya untuk berbagi kegembiraan dan keadilan bagi siapa saja di dalam lingkup keluarganya. Ternyata kemuliaan hati Rendra itu dituntun Tuhan. Sesudah dua hari berbaring di rumah putrinya, ia rebah di “tanahku, hutanku, kuburanku”.

Tiba-tiba, tatkala bersama Komunitas Padangbulan saya berbincang di bawah cahaya bulan purnama di Jombang, 6 Agustus pukul 22.05, di panggung saya memperoleh telepon bahwa Rendra telah dijemput oleh Malaikat Izroil karena lamaran cintanya diterima Allah SWT. Beberapa jam sebelumnya, tatkala maghrib, ia memanggil A’u dan Arifin, bertanya, “Kalau aku mati, kamu ikut siapa?” Tentu saja mereka berdua menjawab, “Papa tidak boleh omong seperti itu.”

Hati saya mungkin kotor karena spontan yang muncul di benak saya sesudah mendengar kepergian Rendra adalah “apakah akan ada siaran langsung juga sebagaimana Mbah Surip?”

Saya mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa pertanyaan itu muncul tidak dari konteks eksistensialisme dan kemasyhuran, melainkan ujian berpikir bagi diri saya sendiri, dan syukur bagi seluruh bangsa Indonesia, khususnya bagi dunia jurnalisme negeri ini. Apakah tidak sebaiknya kita mempertanyakan kembali parameter-parameter nilai kehidupan yang berlaku.

Bagaimana sebenarnya kita menggambar “anatomi nilai” kebudayaan kita? Yang mana dan siapa “kepala”, yang mana dan siapa ” tangan”, “kaki”, “otak”, “nurani”, dan “kelamin”?

Jangan dulu bertanya tentang kaliber karya dan kepribadian Rendra. Kita benahi dulu: yang primer itu akal ataukah nurani, ataukah kelamin? Yang utama bagi informasi dan komunikasi kebudayaan kita ini prestasi akal, pencapaian estetika dan nurani, atau euforia nafsu dangkal kelamin — baik yang diekspresikan dan diperjualbelikan secara eksplisit kelamin maupun yang implisit dan tak kentara bahwa sesungguhnya “rating tertinggi” yang kita imani adalah “packaging” kedangkalan, kekonyolan, kehinaan, dan kerendahan?

Wallahua’lam. Saya berdebar dari detik ke detik. Di tangan saya tergenggam lembar kertas yang bertuliskan puisi terakhir Rendra yang ia tulis pada 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga….[]

Dimuat di Harian Kompas, Sabtu, 8 Agustus 2009
Read More..